IBADAH HAJI (BELAJAR DARI TANAH SUCI)
Oleh: Dr. H.
Shobahussurur, M.A.
Q.S. AL
Hajj :22-27-28
Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamudengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan
supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki
yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah
sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang
yang sengsara lagi fakir".
Ritual haji merupakan praktik ibadah yang
tidak dapat lepas dari sejarah Nabi Ibrahim a.s. Hampir semua rukun dan wajib
haji yang dilakukan jama’ah haji berkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang
dialami Nabi Ibrahim, bersama keluarganya. Ibadah Sa'i mengikuti jejak
pengalaman Siti Hajar, Istri Ibrahim, yang mencari air untuk putra tercintanya,
Ismail (Q.S. al-Baqarah/2: 158).
Ibadah
lempar jumrah mengikuti pengalaman Ibrahim ketika diganggu setan dalam
melaksanakan perintah Allah.
Maka semua jama'ah haji ketika melaksanakan
ibadah haji, meneguhkan kembali tentang prinsip-prinsip tauhid sebagaimana yang
diajarkan oleh Ibrahim yang meliputi: 1). Pengakuan Keesaan Tuhan, serta
penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung,
bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu
selain dari Allah. 2). Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan
dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari
kebangkitan kelak. 3) Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal,
tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat
perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.
Pada akhirnya, ibadah haji bukan sekejar
ritual tahunan yang hanya menghabiskan biaya besar. Tapi mestinya membawa
dampak positif bagi lingkungan sekitar. Haji tidak hanya selesai di bulan-bulan
haji. Pengaruhnya menembus batas berbagai pelapisan sosial hingga diluar musim
haji, meluluhkan hati mereka yang sombong dan congkak, meningkatkan kebersamaan
dan kedermawanan, mengangkat kemiskinan dan kebodohan, dan menjalin hubungan
akrab di kalangan masyarakat yang majemuk. Bila hal itu yang dapat dilakukan
sepulang melaksanakan haji, maka orang yang berhaji akan menyandang predikat
haji mabrur, laisa lahum jazâ' illa al-jannah (tiada balasan baginya melainkan surga baginya). Orang-orang yang mabrur
itu digambarkan oleh Rasulullah Saw. memiliki ciri-ciri antara lain: ith'âm al-tha'âm (memberi
makan) kepada orang yang kelaparan, dan thib al-kalâm
(baik budi dan tutur katanya). Mereka
adalah manusia dermawan yang gerak dan ucapannya membawa kesantunan, kasih
sayang dan kedamaian bagi semua.
Walohu a’lam bishshawab
Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Related Posts: Haji,
Idul Adlha
0 komentar:
Posting Komentar