KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Mujaadalah
58::11)
Ilmu
dalam tinjauan materiil ataupun moril dalam Islam menepati kedudukan yang
sangat urgen, yakni menjadi penentu dalam pengamalan Agama Islam.
Ayat al-Qur’an
dengan lugas memberikan pernyataan keunggulan orang-orang yamg beriman dan
diberi ilmu oleh Allah Ta’ala. Di dalam surah al-Mujaadalah ayat 11 Allah
berfirman:
“… niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa dejarat…” (QS. Al-Mujadalah : 11)
Secara telaah
bahasa/etimologi/lughawiyah, terdapat kata yarfa’
dalam ayat tersebut. Kata yarfa’ adalah kata kerja mudlari’ yang jazm. Jazm
berarti pakem, pasti. Jazm pada ayat tersebut dengan harakat sukun, di mana
sukun bermakna seiring dengan sakinah artinya tenang, tentram. Ini menunjukkan
kepastian atas seorang yang beriman dan berilmu mendapatkan ketentraman,
kesenangan di mana ia dapat kedudukan lebih yaitu dapat membuka jendela dunia
dan akhirat. Inilah makna beberapa derajat keunggulan orang yang beriman dan
berilmu dibanding dengan orang-orang yang tidak berilmu (manusia awam) yang
tertulis dalam ayat di atas.
Dalam ayat lain dengan
nada pertanyaan tapi bermakna pernyataan, Allah berfirman:
“Katakanlah: “Apakah
sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” (QS. ar-Ra’du 13: 16)
Sungguuh ayat ini
sebuah pernyataan Allah Ta’ala yang isinya memuji orang yang berilmu ketimbang
orang bodoh. Begitu bedanya orang yang berilmu dengan orang yang awam.
Untuk membuktikan
secara factual dari kedua ayat di atas: selain Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam kita kenal sahabat Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, mereka banyak bergelut dengan
ilmu, contoh mereka banyak bergelut dengan menghafal al-Qur’an dan menjaga
hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam,
maka nama-nama mereka yang sudah 1438 tahun lalu (15 abad) lewat, masih
disebut-sebut menjadi sanad hadits, baik Abu Bakar ra, Umar bin Khaththab ra,
Utsman bin ‘Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Abu Hurairah ra, Anas bin Malik ra
dan lain sebagainya. Nama-nama mereka masih harum untuk kita sebut padahal
sudah 15 abad yang lalu mereka menjadi pijakan referensi sanad-sanad hadits.
Dari kalangan
tabi’in/para ulama salaf sholeh kita kenal Imam al-Bukhari, denga kitabnya Shahih al-Bukhari. Namanya dan karyanya masih
disebut-sebut di zaman kini.
Berarti
beliau seakan-akan masih hidup padahal hidup 1300 tahun yang lalu. Imam Muslim
dengan Shahih
Muslimnya,
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’i, Ibnu Majah, Ibnu
Rusd dengan semua karya-karya mereka dan nama-nama mereka. Sampai kini mereka
masih disebut-sebut sebagai acuan dan referensi keilmuan Islam. Sungguh betapa
mulia hidup mereka dengan keberkahan Allah Ta’ala padahal sudah belasan abad
yang lalu.
Jika kita telaah
tentang ilmu dalam system keislaman sangatlah menjadi penentu dalam kejayaan dan kesempurnaan agama Islam. Dalam
sebuah atsar disebutkan:
“Barang siapa ingin
sukses dunia maka ia harus berilmu,
barang siapa ingin sukses akhirat maka ia harus berilmu dan barang siapa
ingin sukses kedua-duannya maka ia harus berilmu.” Disampaikan oleh
ath-Thabrani
Periwayatan atsar ini jelas bahwa ilmu sebagai
syarat mutlak segala kesuksesan baik dunia maupun akhirat. Ada sebuah ungkapan yang diriwayatkan Au
Syaikh:
“Ilmu adalah ruhnya
Islam dan tiangnya Iman …”
Bahwa
Islam akan hidup jika Ilmu masih tersiarkan dan Islam akan mati jika Ilmu tidak
diperhatikan serta terkandung pengertian
iman seseorang tanpa ilmu maka akan ambruk tidak berdaya dan akan hilang tanpa
arah.
Terlebih melihat hadits
yang menjadi dasar pokok kewajiban mencari ilmu adalah segala-galanya. Sabda
Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam:
“Mencari
ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Abdil-Baar)
Ada kata faridlah ini berarti lebih wajib, ketika
kita mengenal shalat adalah wajib dengan bahasa faradla artinya wajib. Puasa adalah faradla (wajib). Ini menunjukkan biasa
saja dari kefardluan ibadah tersebut. Tetapi mencari ilmu bahasa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dengan kata faridlah mengguhnakan ya’ isim tafdlil yang berarti lebih wajib. Inilah
poentingnya Ilmu dari sekedar shalat yang fardlu dan
puasa yang fardlu. Mencari ilmu adalah lebih fardlu karena segala amal ibadah bisa
diterima karena didasari ilmu
Kata pepatah dalam
kitab Ta’lim
al-Muta’allim
“Setiap
orang yang beramal ibdah tanpa ilmu maka amal ibadahnya tidak akan diterima
(ditolak)”
Terlebih-lebih
kita harus khawatir karena ada prediksi dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tentang zaman akhir di mana ilmu
akan dicabut dari permukaan bumi dengan dicabutnya para alim ulama, yakni
wafatnya mereka, maka yang ada tinggal orang-orang yang bodoh tanpa ilmu lalu
terpaksa berfatwa karena waktu itu dibutuhkan orang untuk menjadi pemuka agama.
Akan tetapi yang ada hanyalah orang-orang yang sok tahu tentang agama padahal
ia tidak berilmu, ia pandai berbicara agama tanpa menguasai ilmu yang akhirnya
sesat dan berfatwa tanpa ilmu hasilnya adalah menyesatkan.
Hadits nabi
menyatakan
“Ilmu akan
dicabut dengan matinya para ulama sampai habis tak tersisa, akhirnya terpaksa
masyarakat mengangkat pemuka agama dari kalangan orang-orang bodoh, mereka suka
berfatwa tanpa
menguasai ilmu, yang akhirnya mereka sesat dan menyesatkan orang lain.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Inilah saudaraku kaum
muslimin kekhawatiran kita tentang ilmu yuang kian hari kian terancam habis
dari peredaran peradaban dunia di kala kader generasi penerus kita, anak-anak
kita, cucu-cucu kita. Jika mereka tidak mau bergelut di madrasah, pondok-pondok
pesantren, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang kurikulumnya sistematis maka
akan surut keilmuan keislaman oleh karena terpengaruh oleh hingar bingar dunia
yang sifatnya materialistis.
Semoga warga pergerakan
Muhammadiyah tetap istiqomah dalam majelis-majelis ilmu dan kader-kader
generasi penerus tidak pernah surut untuk menerima warisan dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagai sumber ilmu. Baraakallahu
lakum.
Wallahu a’alam.
Oleh:
Ust. Asep Jauharuddin,S.Ag. Edited by Redaksi
Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Related Posts: Adab,
Akhlaq,
Ibadah,
Keluarga,
Pembinaan Keluarga
0 komentar:
Posting Komentar