CINTA DAN KASIH SAYANG DALAM
RUMAH TANGGA(4)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِى؟
قَالَ :
أُمُّكَ
. قَالَ
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ :
ثُمَّ
أُمُّكَ .
قَالَ
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ :ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوكَ .
Dari Abu Hurairah -radliyallahu ‘anhu- ia
berkata: Datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu
bertanya: "Siapakah di antara manusia yang paling berhak menerima
persahabatan baikku?" Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Ibumu." Lalu orang tersebut bertanya: "Kemudian siapa?" Beliau menjawab: "Ibumu." Lalu orang itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Kemudian orang itu bertanya
lagi: “Kemudian siapa?”
Beliau menjawab: “Bapakmu.” (Muttafaq ‘Alaih)
Kalau
ditanyakan, siapakah yang lebih berhak menerima balasan kebaikan dari anaknya?
Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam
mengucapkan bahwa
orang yang paling berhak menerima kebaikkan dari anak adalah ibu, kemudian
bapak. Yang demikian itu karena susah payah yang diderita ibu lebih besar dari
bapak dalam pengasuhan anak.
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa haram bagi anak
mengucapkan kata-kata kasar, sekalipun hanya mengucapkan “ah”
“. . . jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan pada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membantah keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik.” (al-Isra’:23)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh
kasih sayang dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku sayangilah keduanya, karena mereka
berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”
(al-Isra’: 24)
Dalam hadits lain diungkapkan sebagai berikut:
عن عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَهُ فِي
الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَىٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr -radliyallahu ‘anhu- ia berkata:
Datanglah seorang laki-laki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu memohon izin kepada Nabi
untuk ikut berjihad. Lalu Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab: “Masih”. Kemudian Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Maka berjihadlah dengan berbakti
kepada kedua orang tuamu.”
(H.R. al-Bukhari)
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa berbakti kepada orang
tua lebih tinggi nilainya daripada berperang.
Kewajiban berbakti kepada kedua orang tua ditegaskan pula
pasda surah an-Nisa’: 36
“Dan
sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah terhadap kedua
orang tuamu
. . .”
Pada ayat tersebut, perintah
berbakti kepada kedua orang tua diletakkan sesudah larangan mempersekutukan
Allah dengan selain-Nya. Ini menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua pahalanya
sangat tinggi di bawah nilai mentauhidkan Allah Ta’ala, dan sebaliknya memusuhi
kedua orang tua dosanya sangat besar, di bawah dosa berbuat syirik.
Insya Allah, apabila cinta dan kasih sayang
antara suami dan istri, antara anak dan orang tua selalu terpelihara, maka
tidak akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga
itu terjadi karena tidak terpeliharanya cinta dan kasih sayang.
Wallahu a’lam
Oleh:
Ayiqien Humam
Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Related Posts: Buletin Jum'at,
Hadits,
Keluarga,
Pembinaan Keluarga,
Tafsir al-Qur'an
0 komentar:
Posting Komentar